Sayap
Cinta
Wajah lelaki itu tak asing bagiku. Sepertinya aku pernah
mengenalnya di masa lalu. Tapi begitu banyak yang berubah darinya. Bagaimana
mungkin aku seorang perawat yang bertugas di rumah sakit ini bisa bertemu
dengannya. Dia mengenakan jas putih dengan stetoskop menggantung di leher. Dia
seorang dokter muda yang baru ditugaskan di rumah sakit ini. Aku hampir tak
bisa percaya. Sayap takdir telah menerbangkan kami hingga bertemu di sini.
“Yogi Andrian Firdaus. Benarkah itu kamu?” tanyaku.
“Iya, Alika Septania. Akhirnya kita bertemu lagi,”
jawabnya sambil tersenyum. Ada kelegaan di hatiku yang selama bertahun-tahun
merasa kehilangan. Kini telah lengkap rasanya bagai dilahirkan kembali di
kehidupan baru. Siapa sangka Yogi yang di masa kecilnya selalu membuatku
menangis, kini membuatku tak berhenti tersenyum sedikitpun. Dokter muda, Yogi.
Sayap patahku mampu terbang kembali bersamanya…..
***
Suatu
sore yang cerah di hari libur, aku dan Yogi janjian bertemu di sebuah taman.
Sudah saatnya kami bernostalgia mengenang masa kecil. Dulu, keluarga Yogi
adalah tetanggaku. Yogi kecil dan aku juga bersekolah di SD yang sama. Dia
kakak kelasku.
“Dokter
Yogi!” panggilku setelah menemukan sosok yang kukenal itu duduk di sebuah
bangku taman.
“Hay,
Alika…. Jangan panggil Dokter! Ini bukan rumah sakit. Kita tidak sedang
bertugas,” protes Yogi. Aku hanya tersenyum lalu duduk di sampingnya. Tidakkah
dia tahu, betapa bangganya aku memanggilnya dengan sebutan “Dokter”. Aku hanya
terdiam memandang sekitar. Suasana sore yang damai. Burung-burung beterbangan
dengan riang di antara pepohonan taman. Seakan-akan mereka merayakan pertemuan
kembali antara aku dan Yogi.
“Lihatlah!
Aku iri dengan burung-burung itu. Yogi, apa kamu ingat kisah masa kecil kita
dengan burung?” tanyaku.
“Tentu
saja! Kamu selalu bilang, ‘Andai reinkarnasi itu ada, aku ingin dilahirkan
menjadi seekor burung. Yang punya sayap, yang bisa terbang’,” jawab Yogi.
Ingatan kami kembali ke masa anak-anak.
Waktu
itu, usiaku baru tujuh tahunan dan Yogi sepuluh tahunan. Aku dan Yogi sangat
sering bermain bersama. Tapi kami juga lebih sering tidak akur. Yogi kecil
sangat suka menggangguku. Setiap permainan yang kulakukan, dia selalu membuat
onar. Rasanya dia semakin gembira jika berhasil menggagalkan acara bermainku.
Aku sangat sering menangis karena Yogi kecil. Senjata yang paling kuingat untuk
Yogi berbuat onar adalah sebuah ketapel. Saat aku bermain masak-masakan,
boneka, atau apapun, dia selalu menembak dengan ketapelnya hingga mainanku
berantakan. Semua benda-benda di sekitar juga menjadi sasaran ketapel Yogi.
Korban
ketapel Yogi yang terparah adalah seekor burung gereja. Dengan kerikil, Yogi
menembakkan ketapelnya hingga tepat mengenai burung gereja yang hinggap di
dahan pohon. Burung itu jatuh ke tanah dengan satu sayapnya patah. Aku yang
melihat kejadian itu segera memungut sang burung. Aku menangis tersedu dan
memarahi Yogi kecil. Tega sekali dia! Aku membawa burung itu dan merawatnya di
rumah. Sejak merawat burung itu, aku bercita-cita menjadi perawat. Aku ingin merawat
sang burung hingga mampu terbang kembali.
Dengan
bantuan orang tuaku, aku merawat burung gereja itu. Ayahku meletakkannya di
sebuah sangkar. Beberapa pekan kemudian, keadaan burung itu semakin membaik.
Sepertinya dia segera akan bisa terbang. Aku sangat gembira setiap hari
memperhatikannya dari balik sangkar.
Hingga
pada suatu hari, Yogi kecil bermain di rumahku. Awalnya dia ikut mengamati si
burung gereja yang mulai lincah bergerak di dalam sangkar. Kemudian entah
bagaimana tangan jahil Yogi membuka-buka
penutup sangkar. Tak disangka, burung gereja itupun terlepas. Terbang jauh dari
sangkarnya dan tak kembali. Aku menangis sejadi-jadinya melihat burung yang
selama ini kurawat, kini lepas dari sangkarnya. Aku sangat sedih. Hingga setiap
kali aku melihat burung terbang di langit, aku merasa iri. Aku ingin terbang
seperti mereka. Aku ingin menjadi burung.
Aku
tak pernah membenci Yogi walau dia selalu membuatku menangis. Hingga akhirnya
Yogi harus pindah rumah karena ayahnya dipindahtugaskan ke luar kota. Aku
merasa sangat kehilangan. Aku semakin ingin menjadi burung. Dengan menjadi
burung, aku akan terbang dan mencari kemana Yogi berada. Bagiku, Yogi adalah
sahabatku. Walau dia selalu mengganggu, tapi justru karena itu aku selalu
mengingatnya. Aku ingin kelak saat dewasa bisa bertemu dengannya lagi. Tapi
entah bagaimana caranya?
Saat
itu, aku tak mengerti Yogi pindah ke kota mana? Aku hanya bisa mengingat
kenangan masa kecilku bersamanya. Aku memilih fokus mengejar cita-citaku.
Hingga akhirnya aku berhasil menjadi perawat dan ditugaskan di rumah sakit ini.
Siapa sangka di sinilah aku bertemu lagi dengan Yogi. Bahkan bertemu dengannya
sebagai seorang dokter! Kini Dokter Yogi sedang duduk di sampingku. Mengingat
segala kenangan itu.
“Bagaimana
mungkin kamu menjadi dokter, Yogi? Aku tidak menyangka,” ucapku.
“Alika,
maaf…. Waktu kecil aku sangat nakal padamu. Maaf, selalu membuatmu sedih dan
menangis….”
“Yang
terpenting, sekarang aku sudah tak menangis lagi karena kamu. Tapi aku sangat
bangga. Sekaligus heran. Aku masih tidak percaya.”
“Kamu
tahu, Alika? Saat orang tuaku mengatakan keluarga kami harus pindah rumah
secara mendadak, aku merasa sangat sedih. Aku belum sempat meminta maaf padamu
atas semua kenakalanku. Aku membuang ketapelku. Aku menyesal. Saat berpisah,
aku ingin bertemu denganmu. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya? Hingga aku
punya sebuah cara terbaik supaya aku bisa bertemu denganmu lagi…”
“Bagaimana
caranya, Yogi?”
“Aku
ingat kamu berkata ingin menjadi seorang perawat. Agar aku bertemu denganmu,
tentu aku harus menjadi dokter! Sejak itulah aku bercita-cita menjadi dokter.
Aku belajar sungguh-sungguh. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk menebus
kesalahanku yang pernah menyakiti seekor burung…”
Mataku
berkaca-kaca mendengar penjelasan Yogi. Dia yang masa anak-anaknya sangat
bandel, ternyata kini menjadi dokter yang mengagumkan,
“Yogi,
kesungguhanmu membawa hasil. Akhirnya kita bertemu lagi. Aku sebagai perawat
dan kamu sebagai dokter,” aku tersenyum. Aku merasa jadi orang paling bahagia
di dunia.
“Aku
tak mau berpisah denganmu lagi,” ucap Yogi.
“Yogi…..
Bagaimana kalu kita mati? Tentu kita akan berpisah…..”
“Andai
ada reinkarnasi, aku ingin kita berdua menjadi burung. Aku ingin terbang bersamamu,
Alika.”
Ucapan
Yogi menimbulkan perasaaan yang aneh dalam hatiku. Tiba-tiba aku malu menatap
Yogi. Aku membuang pandanganku jauh ke langit yang mulai diselimuti senja.
Burung-burung terbang pulang ke sarangnya. Begitu indah. Bagiku, sayap adalah
bagian tubuh yang paling indah. Karena dengan sayap, burung dapat terbang
mengelilingi angkasa. Oh, aku sangat ingin merasakannya. Terbang bersamanya.
Yogi. Dia menggandeng tanganku dan mengajakku beranjak pergi. Taman mulai gelap
karena senja berganti malam. Aku dan Yogi berjalan bersama. Sayap cinta
berkembang di antara kami. Bawalah kami terbang setinggi awan….