Minggu, 09 Desember 2012

Puisi

*~ Bunga Musiman ~*



Jadilah kau bunga
yang selalu ingin mengembang
selalu mekar sepanjang musim
Tak peduli musim basah atau kemarau
Jadilah kau bunga
yang tumbuh pada setiap waktu
yang tegar walau dalam belukar
Tumbuhlah, kembanglah
Di manapun engkau ditaburkan

Karya: Tegar Rahmaheno (kls X SMA Muhammadiyah 1 Mojokerto)

Sabtu, 08 Desember 2012

Cerpen


Sayap Cinta

            Wajah lelaki itu tak asing bagiku. Sepertinya aku pernah mengenalnya di masa lalu. Tapi begitu banyak yang berubah darinya. Bagaimana mungkin aku seorang perawat yang bertugas di rumah sakit ini bisa bertemu dengannya. Dia mengenakan jas putih dengan stetoskop menggantung di leher. Dia seorang dokter muda yang baru ditugaskan di rumah sakit ini. Aku hampir tak bisa percaya. Sayap takdir telah menerbangkan kami hingga bertemu di sini.

            “Yogi Andrian Firdaus. Benarkah itu kamu?” tanyaku.
            “Iya, Alika Septania. Akhirnya kita bertemu lagi,” jawabnya sambil tersenyum. Ada kelegaan di hatiku yang selama bertahun-tahun merasa kehilangan. Kini telah lengkap rasanya bagai dilahirkan kembali di kehidupan baru. Siapa sangka Yogi yang di masa kecilnya selalu membuatku menangis, kini membuatku tak berhenti tersenyum sedikitpun. Dokter muda, Yogi. Sayap patahku mampu terbang kembali bersamanya…..
***
Suatu sore yang cerah di hari libur, aku dan Yogi janjian bertemu di sebuah taman. Sudah saatnya kami bernostalgia mengenang masa kecil. Dulu, keluarga Yogi adalah tetanggaku. Yogi kecil dan aku juga bersekolah di SD yang sama. Dia kakak kelasku.
“Dokter Yogi!” panggilku setelah menemukan sosok yang kukenal itu duduk di sebuah bangku taman.
“Hay, Alika…. Jangan panggil Dokter! Ini bukan rumah sakit. Kita tidak sedang bertugas,” protes Yogi. Aku hanya tersenyum lalu duduk di sampingnya. Tidakkah dia tahu, betapa bangganya aku memanggilnya dengan sebutan “Dokter”. Aku hanya terdiam memandang sekitar. Suasana sore yang damai. Burung-burung beterbangan dengan riang di antara pepohonan taman. Seakan-akan mereka merayakan pertemuan kembali antara aku dan Yogi.
“Lihatlah! Aku iri dengan burung-burung itu. Yogi, apa kamu ingat kisah masa kecil kita dengan burung?” tanyaku.
“Tentu saja! Kamu selalu bilang, ‘Andai reinkarnasi itu ada, aku ingin dilahirkan menjadi seekor burung. Yang punya sayap, yang bisa terbang’,” jawab Yogi. Ingatan kami kembali ke masa anak-anak.

Waktu itu, usiaku baru tujuh tahunan dan Yogi sepuluh tahunan. Aku dan Yogi sangat sering bermain bersama. Tapi kami juga lebih sering tidak akur. Yogi kecil sangat suka menggangguku. Setiap permainan yang kulakukan, dia selalu membuat onar. Rasanya dia semakin gembira jika berhasil menggagalkan acara bermainku. Aku sangat sering menangis karena Yogi kecil. Senjata yang paling kuingat untuk Yogi berbuat onar adalah sebuah ketapel. Saat aku bermain masak-masakan, boneka, atau apapun, dia selalu menembak dengan ketapelnya hingga mainanku berantakan. Semua benda-benda di sekitar juga menjadi sasaran ketapel Yogi.
Korban ketapel Yogi yang terparah adalah seekor burung gereja. Dengan kerikil, Yogi menembakkan ketapelnya hingga tepat mengenai burung gereja yang hinggap di dahan pohon. Burung itu jatuh ke tanah dengan satu sayapnya patah. Aku yang melihat kejadian itu segera memungut sang burung. Aku menangis tersedu dan memarahi Yogi kecil. Tega sekali dia! Aku membawa burung itu dan merawatnya di rumah. Sejak merawat burung itu, aku bercita-cita menjadi perawat. Aku ingin merawat sang burung hingga mampu terbang kembali.
Dengan bantuan orang tuaku, aku merawat burung gereja itu. Ayahku meletakkannya di sebuah sangkar. Beberapa pekan kemudian, keadaan burung itu semakin membaik. Sepertinya dia segera akan bisa terbang. Aku sangat gembira setiap hari memperhatikannya dari balik sangkar.
Hingga pada suatu hari, Yogi kecil bermain di rumahku. Awalnya dia ikut mengamati si burung gereja yang mulai lincah bergerak di dalam sangkar. Kemudian entah bagaimana tangan  jahil Yogi membuka-buka penutup sangkar. Tak disangka, burung gereja itupun terlepas. Terbang jauh dari sangkarnya dan tak kembali. Aku menangis sejadi-jadinya melihat burung yang selama ini kurawat, kini lepas dari sangkarnya. Aku sangat sedih. Hingga setiap kali aku melihat burung terbang di langit, aku merasa iri. Aku ingin terbang seperti mereka. Aku ingin menjadi burung.
Aku tak pernah membenci Yogi walau dia selalu membuatku menangis. Hingga akhirnya Yogi harus pindah rumah karena ayahnya dipindahtugaskan ke luar kota. Aku merasa sangat kehilangan. Aku semakin ingin menjadi burung. Dengan menjadi burung, aku akan terbang dan mencari kemana Yogi berada. Bagiku, Yogi adalah sahabatku. Walau dia selalu mengganggu, tapi justru karena itu aku selalu mengingatnya. Aku ingin kelak saat dewasa bisa bertemu dengannya lagi. Tapi entah bagaimana caranya?
Saat itu, aku tak mengerti Yogi pindah ke kota mana? Aku hanya bisa mengingat kenangan masa kecilku bersamanya. Aku memilih fokus mengejar cita-citaku. Hingga akhirnya aku berhasil menjadi perawat dan ditugaskan di rumah sakit ini. Siapa sangka di sinilah aku bertemu lagi dengan Yogi. Bahkan bertemu dengannya sebagai seorang dokter! Kini Dokter Yogi sedang duduk di sampingku. Mengingat segala kenangan itu.

“Bagaimana mungkin kamu menjadi dokter, Yogi? Aku tidak menyangka,” ucapku.
“Alika, maaf…. Waktu kecil aku sangat nakal padamu. Maaf, selalu membuatmu sedih dan menangis….”
“Yang terpenting, sekarang aku sudah tak menangis lagi karena kamu. Tapi aku sangat bangga. Sekaligus heran. Aku masih tidak percaya.”
“Kamu tahu, Alika? Saat orang tuaku mengatakan keluarga kami harus pindah rumah secara mendadak, aku merasa sangat sedih. Aku belum sempat meminta maaf padamu atas semua kenakalanku. Aku membuang ketapelku. Aku menyesal. Saat berpisah, aku ingin bertemu denganmu. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya? Hingga aku punya sebuah cara terbaik supaya aku bisa bertemu denganmu lagi…”
“Bagaimana caranya, Yogi?”
“Aku ingat kamu berkata ingin menjadi seorang perawat. Agar aku bertemu denganmu, tentu aku harus menjadi dokter! Sejak itulah aku bercita-cita menjadi dokter. Aku belajar sungguh-sungguh. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk menebus kesalahanku yang pernah menyakiti seekor burung…”
Mataku berkaca-kaca mendengar penjelasan Yogi. Dia yang masa anak-anaknya sangat bandel, ternyata kini menjadi dokter yang mengagumkan,
“Yogi, kesungguhanmu membawa hasil. Akhirnya kita bertemu lagi. Aku sebagai perawat dan kamu sebagai dokter,” aku tersenyum. Aku merasa jadi orang paling bahagia di dunia.
“Aku tak mau berpisah denganmu lagi,” ucap Yogi.
“Yogi….. Bagaimana kalu kita mati? Tentu kita akan berpisah…..”
“Andai ada reinkarnasi, aku ingin kita berdua menjadi burung. Aku ingin terbang bersamamu, Alika.”
Ucapan Yogi menimbulkan perasaaan yang aneh dalam hatiku. Tiba-tiba aku malu menatap Yogi. Aku membuang pandanganku jauh ke langit yang mulai diselimuti senja. Burung-burung terbang pulang ke sarangnya. Begitu indah. Bagiku, sayap adalah bagian tubuh yang paling indah. Karena dengan sayap, burung dapat terbang mengelilingi angkasa. Oh, aku sangat ingin merasakannya. Terbang bersamanya. Yogi. Dia menggandeng tanganku dan mengajakku beranjak pergi. Taman mulai gelap karena senja berganti malam. Aku dan Yogi berjalan bersama. Sayap cinta berkembang di antara kami. Bawalah kami terbang setinggi awan….

Senin, 19 November 2012

Cerpen


“LOVELY CAKE”
Ya ampun..!! Meisya bangun kesiangan! Padahal ini hari pertamanya masuk kerja. Meisya tergesa-gesa berangkat ke tempat kerjanya. Ia sudah terlambat hampir satu jam. Dengan penampilan kurang rapi, Meisya berlari memasuki sebuah toko kue. Di atas pintu toko kue itu terpasang papan bertuliskan “LOVELY CAKE”.
Meisya sangat  memimpikan bekerja di toko kue ini. Namun setelah ia berhasil lulus tes, ia justru datang terlambat di hari pertamanya bekerja. Dengan kepanikan luar biasa, Meisya memasuki “LOVELY CAKE”.  Baru sampai di depan pintu, seseorang berbadan tegap berdiri menghadangnya dengan tangan terlipat di dada.
“Kamu pegawai yang baru diterima kemarin?” tanya pria muda itu kepada Meisya.
“I-iya….,” Meisya terkejut setengah mati. Ia mengamati wajah orang di depannya yang sangat tidak ramah. Jangan-jangan dia……..
“Kemarin saya ke luar kota beberapa hari, jadi saya belum tau tentang kamu. Meskipun kemarin asisten saya, Chef Vina udah nerima kamu, tapi belum tentu saya nerima kamu juga!” pria itu bicara lagi dengan nada tegas dan wajah serius. Meisya hanya melongo seperti melihat makluk asing di depannya. Wajah pria itu tetap tampan walau memasang ekspresi sok judes.
“Bengong lagi! Kamu tau nggak siapa saya?”
Meisya hanya menggeleng.
“Saya Enrico, owner LOVELY CAKE. Panggil aja Chef Rico! Chef Vina udah cerita tentang kamu. Ehm… Namamu siapa? Saya lupa…”
“Ooo… M-Meisya. Nama saya Meisya, Chef,” Meisya terkejut sekaligus senang. Ia baru tahu Chef Rico, bosnya sekeren ini. Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman, tapi Chef Rico memasukkan tangannya ke saku celana. Meisya semakin kikuk.
“Meisya, kamu tau sekarang jam berapa?”
“Jam 8, Chef..”
“Kamu udah dikasih tau kan, jam kerjamu mulai jam berapa?”
“Iya… Jam 7, Chef…”
“Kenapa sekarang baru datang? Terlambat satu jam!”
“Maaf, Chef…. Saya….”
“Udah, cepat masuk dapur!  Bantu Chef Vina dan Chef Adit. Saya males dengerin alasan kamu! Daripada buang-buang waktu lagi, mending kamu langsung ke dapur. Tapi inget, saya belum nerima kamu sepenuhnya di sini!” setelah “menyambut” Meisya, Chef Rico segera pergi menuju ruangannya.
Glek…. Meisya menelan ludah. Jantungnya masih berdegup tak karuan. Hari pertama bekerja yang sangat sial. Belum apa-apa, sudah dimarahi big boss. Tapi ada yang aneh dengan perasaan Meisya. Meskipun kesal karena dimarahi, tapi ia sungguh kagum pada ketegasan Chef Rico.
Setelah Chef Rico pergi, datanglah Chef Vina dan Chef Adit menghampiri Meisya. Chef Vina menghibur Meisya,”Udah, gak usah dipikirin. Emang gitu Chef Rico sok galak. Tapi sebenarnya dia baik kok! Kamu harus bisa ambil hatinya”.
Chef Adit yang gendut dan ramah juga nyeletuk,”Kayaknya, ada yang terpesona dengan aura Chef Rico nih! Ciee… Cieee…. Hehehe…”
“Hhmm, gawat! Aku hampir jantungan dapat sambutan shock terapy dari big boss. Duh, gimana nih? Chef Rico marah ma aku…,” Meisya panik.
“Udahlah, kita lihat nanti reaksi Chef Rico selanjutnya. Sekarang kamu bantuin kita yuk di dapur,” Chef Vina mengajak Adit dan Meisya untuk mulai  bekerja.
***
Beberapa hari bekerja di “LOVELY CAKE”, ada saja kesalahan yang diperbuat Meisya. Selain karena ceroboh, konsentrasi Meisya terpecah akibat perasaannya pada Chef Rico. Setiap kali bosnya itu lewat di dapur, jantung Meisya jadi berdetak kencang dan rasa gugupnya semakin menjadi-jadi. Dari sekian banyak kesalahan Meisya, akhirnya ada satu kesalahan yang mengusik ketenangan Chef Rico. Big boss itu menemui Meisya di dapur.
Klontang…!!!! Meisya menjatuhkan sebuah loyang kosong. Ia mengambil loyang itu di bawah meja dapur. Saat berdiri, ia melihat Chef Rico sudah di hadapannya. Meisya mulai jantungan.
“Eh, Chef Rico! Ada apa, Chef?” tanya Meisya berusaha setenang mungkin.
“Kemarin ada pelanggan yang komplain. Namanya Ibu Imelda. Dia pesan strawberry cake, ternyata sampai rumah dapatnya cheese cake. Dari yang saya dengar, kamu yang membungkus cake itu??” tanya Chef Rico penuh selidik.
“I-iya, Chef…. Maaf kemarin saya salah membungkus cake…,” Meisya gemetaran.
“Bukan cuma itu! Berapa kali kamu melakukan kesalahan-kesalahan yang lain? Bisa kerja nggak???” bentak Chef Rico.
“Maaf, Chef… Tolong maafin saya. Saya janji kerja dengan baik. Saya ingin kerja di sini, Chef,” Meisya memohon.
“Ikut ke ruangan saya!” perintah Chef Rico. Meisya mengikuti bosnya dengan jantung berdebar-debar.
Di ruangan Chef Rico……..
“Kamu tau kenapa saya selalu marah-marah sama kamu?” Chef Rico mencoba sabar,”Saya nggak mau punya pegawai seceroboh kamu!”
“Tapi, Chef….. Tolong berikan saya kesempatan lagi. Saya janji gak akan ceroboh lagi,” Meisya hampir menangis. Impiannya adalah menjadi pembuat kue yang handal. Apalagi setelah diterima bekerja di sini, Meisya merasa kagum pada Chef Rico. Walaupun perasaan ini membuatnya semakin gugup, salah tingkah, hingga berbuat banyak kesalahan. Tapi setiap hari bertemu Chef Rico membuatnya bersemangat.
“Saya beri satu tes lagi. Kalau dalam tes ini kamu gagal, kamu harus berhenti kerja di sini!” Chef Rico menjelaskan,”Kamu harus membuat satu cake kesukaan saya!”
Meisya menjawab dengan antusias,”Baik, Chef! Saya akan buat cake itu! Rasa apa kesukaan Chef Rico?”
“Itulah…… Kamu harus cari tau sendiri, cake rasa apa kesukaan saya!” Chef Rico memasang wajah misterius,”Saya beri waktu 3 hari. Kamu harus berikan cake itu pada saya!”
***
Meisya pusing tujuh keliling. Darimana bisa tahu cake kesukaan Chef Rico? Ia sudah bertanya pada Chef  Vina dan Chef Adit, tapi mereka dilarang menjawab oleh Chef Rico. Harus tanya ke siapa lagi?? Meisya memutar otak. Oh iya, ada satu pelayan lagi di toko kue “LOVELY CAKE”. Namanya Lola. Saat Meisya bertanya, Lola pun menjawab tidak tahu. Meisya hampir putus asa.
Keesokan harinya…….
Hari ini tidak seperti biasanya, Mesya datang pagi-pagi sekali ke “LOVELY CAKE”. Siapa tahu ada petunjuk? Meisya masuk ke dapur. Ia melihat Lola baru selesai bersih-bersih.
“Hai, Mei…. Tumben pagi-pagi udah datang? Pasti lagi menyelidiki. Hahaha…..,” sapa Lola sekaligus meledek.
Senyum Meisya terlihat dipaksakan. Ia hanya terdiam mengamati Lola yang sedang membuat minuman dalam cangkir. Ia menghampiri cangkir itu dan mencicipi sedikit minuman di dalamnya.
“Eh, ehhh…!! Itu minuman buat Chef Rico..!!! Kok malah diminum sih??!! Aduh..!!!” Lola memarahi Meisya.
“Oh, buat si boss?? Sorry, aku nggak tau. Emangnya tiap hari bos minum ini?”
“Iya! Udah sana, jangan ganggu kerjaanku!” Lola mengusir Meisya. Tapi Meisya sudah menemukan satu hal. Chef Rico suka meminum ini setiap hari. Capuccino!
***
Akhirnya….. Selesai juga satu cake rasa cappuccino berbentuk hati. Kue yang sangat indah! Meisya puas dengan hasil kerjanya. Ia yakin rasa favorit Chef Rico adalah cappuccino. Tapi Meisya masih ragu. Hhmm, sudahlah! Lihat saja nanti. Meisya membawa kuenya menuju ruangan Chef Rico. Tok… tok… tok…. Meisya mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian, Sang bos membukakan pintu.
“Meisya…. Silakan masuk.”
“Ini Chef kuenya…,” Meisya sedikit gugup berhadapan dengan bosnya. Tapi ia pasrah apa pun yang akan terjadi. Ia meletakkan kuenya di meja. Chef Rico memandangi kue itu dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.
“Jadi menurut kamu, cake rasa apa kesukaan saya?”
“Chef coba langsung aja…”
“Oo… Ganti kamu yang bikin saya penasaran,” dengan pisau dan garpu, Chef Rico mengambil sepotong kue Meisya. Ia mencicipi kue itu. Mengunyah beberapa detik. Lalu ia pun tersenyum.
“”Capuccino cake…. Darimana kamu tau?” Chef Rico bicara dengan ekspresi puas. Senyum yang hampir tak pernah dilihat Meisya itu pun akhirnya tampak.
“Benar Chef suka cappuccino??? Untung saya datang pagi-pagi Chef. Saya jadi tahu, kebiasaan Chef Rico minum cappuccino tiap pagi,” Meisya menjelaskan. Ia tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
“Itulah yang harus kamu lakukan! Datang pagi-pagi, kerja yang bener dan rajin! Hasilnya bagus kan? Saya tau kamu berbakat, tapi hilangkan kebiasaan burukmu. Baru kamu bisa berhasil!” Chef Rico menasihati dengan bersemangat.
“Saya sangat mengagumi Chef Rico. Impian saya menjadi chef hebat seperti Chef Rico. Saya ingin belajar di sini. Izinkan saya bekerja di LOVELY CAKE,” Meisya bicara dengan menahan haru. Perasaannya lega.
“Aku pasti bantu kamu mewujudkan mimpimu. Kamu kerjalah sumgguh-sungguh di sini,” Chef Rico tersenyum. Ini pemandangan terindah di LOVELY CAKE bagi Meisya.
“Silakan dinikmati cake-nya Chef,” Meisya sumringah. Ia telah membuat cake ini dengan sepenuh hati. Spesial untuk Chef Rico.
“Rasanya aku seperti dapat cake dari pacar,” goda Chef Rico pada Meisya,”tapi ingat, aku masih bos kamu ya…”
“Iya, iya Chef…. Thank you Chef Rico..” Meisya bahagia melihat Chef Rico menikmati capuccino cake buatannya dengan lahap. Meisya yakin bisa mengambil hati Chef Rico. I love you Chef…


Selasa, 02 Oktober 2012

Cerpenku


ALUNAN PIANO DAVE

Di siang hari yang panas, Momo baru pulang kuliah. Sampai di rumah, dia langsung merebahkan diri di sofa ruang tengah. Sofa warna cokelat kesayangannya. Di situ tempat favo- ritnya untuk menghilangkan penat. Jendela yang berada tepat di samping sofa itu selalu menghembuskan semilir angin, hingga Momo betah berlama-lama duduk di sana.
Beberapa menit Momo duduk di sofa, dia mendengar alunan suara piano. Momo menengok ke jendela. Dari jendela itu bisa terlihat jendela rumah sebelah. Rumah Momo dengan rumah sebelahnya dibatasi oleh taman kecil. Dari jendela rumah sebelah itu, Momo melihat seseorang memainkan piano.
Seorang laki-laki muda berkacamata sedang serius memainkan piano. Dia menunduk tanpa menoleh sedikitpun.  Tampaknya dia sangat menikmati sentuhan jemarinya dengan tuts piano. Momo terus memperhatikan, meski dia tak mengerti lagu apa yang sedang dimainkan.
“Momo, kamu lagi lihat apa?” tanya Mama.
“Eh, Mama…. Itu, ada cowok lagi main piano di rumah sebelah. Siapa sih, Ma??”
 “Oh, iya… Mama belum cerita. Itu tetangga baru kita. Cowok itu namanya Dave, nama ayahnya Pak Ronny. Mereka baru pindah kemarin. Nanti kalo ada waktu, kamu main ke rumah Dave yaa…”
“Ouw…. Besok-besok aja deh, Ma… Ntar sore Adel mau kesini ngerjakan tugas kuliah.”
“Eh, Mo… Dave itu cakep lho. Sopan, keren, jago main piano lagi. Buruan kenalan.. Siapa tau kalian cocok?”
“Iiiihhh.. Apaan sih, Ma??” Momo segera beranjak menuju kamar. Mama tersenyum melihat tingkah putrinya itu.
******
Malam hari, Adel mengerjakan tugas kuliah di rumah Momo. Mereka berdua duduk di sofa ruang tengah. Suara alunan piano kembali terdengar. Adel melongok ke jendela. Terlihat Dave memainkan piano dari balik jendela rumahnya.
“Haaahhh, siapa tuh main piano di rumah sebelah?? Wow, keren banget tuh cowok…,” Adel memandang Dave dengan kagum.
“”Ah, lebay kamu Del..! Belum kenal juga, udah muji-muji,” sanggah Momo.
“Emangnya dia siapa, Mo??”
“Namanya Dave. Dia tetangga baru.”
“Dave….. Wah, namanya sekeren orangnya. Hehe…”
“Apaan sih, Del..! Cowok aneh gitu. Seharian kerjaannya main piano melulu..”
“Ya, mungkin profesinya emang pianis. Asyik banget permainan pianonya. Coba dengerin deh..”
“Halah, kita mahasiswi Kimia tau apa soal piano? Udah, lanjutin ngerjakan aja..” Momo dan Adel kembali mengerjakan tugas.
*****
Keesokan paginya, Momo akan berangkat kuliah. Karena takut terlambat, dia tergesa-gesa keluar dari kamar. Dengan membawa setumpuk buku, dia berjalan keluar rumah. Baru sampai di depan pagar rumah, tiba-tiba BRAAKKK…!!!!! Momo menabrak seseorang.
“Aduuuhhh…..,” Momo memegangi lengannya. Dia melihat sosok yang menabraknya, ternyata Dave!
“Ehm, maaf….,” Dave seperti kebingungan. Dia menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. Momo segera mengambil buku-bukunya yang  jatuh berantakan. Dave  terlihat canggung dan tidak berani menatap Momo.
“Hey! Kalo jalan hati-hati dong!!” Momo melihat ke arah Dave. Tapi orang yang menabraknya itu sudah pergi entah kemana. Momo melihat sekeliling untuk mencari-cari Dave, tapi tidak ada. Kemana dia?? Momo merasa sangat kesal.
Sampai di kampus…..
“Hay… Pagi-pagi udah cemberut aja neng?” tanya Adel heran melihat sikap Momo.
“Huuuuhhhhh…… Nyebelin banget tuh  cowok!! Udah pakai kacamata, masih aja nabrak! Buku aku jadi berantakan! Gak mau bantuin juga!”
“Hah.. Siapa yang nabrak kamu, Mo?”
“Tuh, si tetangga baru, Dave!!”
“Wah, kamu ditabrak sama Dave?? Duh, aku pengen juga dong…”
“Yang bener aja??!! Aku kesel banget, tau! Udah ku bilang, tuh cowok emang aneh!”
“Hhmmm… Marah-marah melulu ama si Dave. Dia tuh cakep, tau! Kalo gitu, Dave buat  aku aja ya? Hehe…”
“Silakan! Ambil aja sono si Dave!”
“Oke… Ntar sore aku mau ke rumahnya,” Adel tersenyum genit. Momo semakin kesal pada Dave.
*****
Satu minggu kemudian…..
Dua hari ini, tidak terdengar suara piano Dave. Momo merasa heran. Rumah tetangganya itu sepi. Tidak pernah terlihat Dave memainkan piano. Adel pun sudah tak pernah bercerita tentang cowok aneh itu. ‘Gak ada urusannya ma aku,’ begitu pikir Momo. Hingga kemudian Mama bercerita bahwa Dave sedang sakit tifus. Dia sedang dirawat di rumah sakit. Mama mengajak Momo menjenguk Dave. Tapi Momo ingin mengajak Adel juga. Momo pun menelepon Adel.
“Halo, Momo.. Ada apa?” suara Adel setelah mengangkat panggilan Momo.
“Adel, Si Dave lagi sakit tuh! Dia di rumah sakit. Kamu gak jenguk dia?”
“Hahh? Dave sakit apa?”
“Kata mamaku, dia sakit tifus. Ntar Mama mau jenguk dia. Kamu mau ikut juga?”
“Ehmm… Nggak, Mo.. Kamu aja yang jenguk dia ya…”
“Lho, kenapa? Tumben banget, Del.. Bukannya kamu nge-fans ama si Dave?”
“Ehmm… Sorry.. Nggak kok, Mo…,” Adel menutup telepon. Momo heran dengan sikap sahabatnya itu. 
*****
Sejak Dave sakit, Momo merasa bersalah. Selama Dave menjadi tetangganya, Momo selalu kesal dan benci. Dia belum pernah berkunjung, bahkan Dave sakit pun dia belum menjenguk. Momo segan jika datang sendiri tanpa Adel. Beberapa hari kemudian, Dave sudah pulang dari rumah sakit. Kebetulan juga, Adel akhirnya mengajak Momo menjenguk Dave. Di suatu sore yang cerah, Momo dan Adel pergi ke rumah Dave.
Di rumah Dave….
“Hay, Dave…. Sorry, aku gak bilang sebelumnya ke kamu kalo aku ngajak Momo,” ucap Adel.
“Oh, it’s okey,” jawab Dave, ”silakan duduk.”
“Hay, Dave…. Udah sembuh kah?” Momo memberanikan diri bertanya.
“Ya, udah baikan. Tapi belum sembuh total,” ucap Dave, “terlalu rajin latihan piano, sampai telat makan.” Dave, Adel, dan Momo mulai bercakap-cakap. Ini pertama kalinya Momo memperhatikan Dave dari dekat. Dave masih terlihat pucat.
“Oh ya, Dave dan Momo… Sebenarnya aku punya satu maksud ngajak Momo kesini,” ucap Adel.
“Apa maksudmu, Del?” tanya Momo.
“Aku mau bilang… Sebenarnya, Dave suka sama kamu, Mo.. Dia punya foto-foto kamu,” Adel menghampiri sebuah laci di ruang tamu Dave. Dia mengeluarkan beberapa lembar foto dan meletakkannya di meja. Dave dan Momo sangat terkejut.
“Adel, kamu apa-apaan sih?” bentak Momo. Dave hanya membisu dengan wajah pucat pasi.
“Lihat foto-foto ini, Mo..! Ini bukti kalo Dave suka kamu. Sebagai sahabat, aku dukung hubungan kalian berdua. Silakan kalian mengenal lebih dekat. Aku pamit dulu. Bye…,” Adel tersenyum lalu pergi meninggalkan rumah Dave.
“Tunggu, tunggu!! Aku gak ngerti, apa maksud semua ini? Tolong jelasin, Dave!” pinta Momo.
“Maaf, Momo… Aku suka memotret kamu secara diam-diam,” kata Dave sambil menunduk.
Momo memperhatikan foto-foto itu. Semua objek foto itu adalah dirinya. Gambar-gambar Momo saat di teras rumah, di taman sebelah rumah, dan di depan pagar rumah. Semua foto itu indah dan alami. Momo terdiam sejenak. Tak percaya Dave bisa mengambil foto sebagus itu.
“Apa maumu, Dave? Buat apa kamu ngelakuin semua ini?” Momo tak mengerti.
“Aku cuma ingin dekat denganmu, Mo… Rasanya senang bisa memperhatikan kamu.”
“Tapi bukan begini caranya, Dave! Kamu tu aneh! Aku gak mau kamu menguntitku lagi dengan foto-foto seperti ini. Oke..! Aku pamit dulu!” Momo beranjak pergi. Dave hanya terdiam.
*****
Beberapa hari kemudian…
Adel telah bercerita pada Momo. Saat Adel berkunjung ke rumah Dave, dia menemukan foto-foto Momo di meja. Bahkan Dave pun mengatakan, dia menyukai Momo. Namun Dave tipe orang yang tak pandai bergaul sehingga sulit mendekati Momo. Itulah yang menjadi alasan Adel untuk mengajak Momo ke rumah Dave. Adel pun mengatakan semuanya agar Momo tahu perasaan Dave.
Sejak kejadian di rumah Dave, Momo semakin merasa bersalah. Apalagi dia mengatakan Dave itu aneh. Momo semakin khawatir karena tak mendengar suara piano Dave lagi. Apa sakitnya semakin parah? Momo gelisah tak menentu.
Hingga pada suatu sore, Momo mendengar alunan piano Dave. Momo melihat ke jendela rumah sebelah. Ada Dave sedang bermain piano! Momo segera berlari menuju rumah Dave. Momo memasuki ruang tamu dan melihat Dave duduk di depan piano.
“Dave…!!” Momo memanggil Dave. Cowok berkacamata itu menghentikan permainan pianonya.  Dia menoleh pada Momo.
“Momo?? Hay…. Ada apa?” Dave terkejut sekaligus senang.
“Dave, kamu kemana aja? Kemarin gak kedengeran main piano. Kamu masih sakit?”
“Oh, tenang.. Aku udah sehat kok. Kemarin aku ke tempat grup orchestra. Aku baru gabung jadi pianis di sana. Jadi, akan mulai sibuk dengan jadwal tampil,” Dave menjelaskan dengan semangat.
“Oh… Syukurlah..,” ucap Momo lega, “Dave, kamu jangan telat-telat makan lagi. Udah mulai kerja, harus jaga kesehatan.”
“Iya… Thank you perhatian kamu, Momo…” Dave mengagguk.
“Dave, maaf… Selama ini aku terlalu cuek ama kamu. Harusnya, aku lebih ramah ama tetangga baruku dan bisa mengerti sifatmu, Dave…,” Momo menyesal.
“Hehe… No problem, Mo… Aku seneng kita bisa kenal dekat,” ucap Dave sambil tersenyum. Baru kali ini Momo melihat Dave tersenyum manis. Begitu tulus dan hangat. Momo terpesona.
“Ehm… Dave, silakan dilanjut main pianonya,” Momo tersadar dan salah tingkah.
“Eh, gimana kalo kamu ikut temenin aku main piano?” Dave mempersilakan Momo duduk bersamanya. Momo pun duduk dengan malu-malu.
“Harus kuakui, Dave… Kamu emang jago main piano. Sejak kamu pindah kesini, aku kagum dengan permainan piano kamu. Tiap hari, aku terbiasa dengar suara pianomu. Tanpa alunan piano kamu, sepi banget rasanya…,” Momo memberanikan jujur.
“Aku gak pandai bicara atau berkata-kata. Hanya dengan piano, aku ungkapkan isi hatiku,” ucap Dave lalu mulai memainkan pianonya. Suara lembut piano mengisi relung hati Momo.
“Dave, aku ingin temani kamu main piano. Selalu….,” Momo bergumam dalam hati. Dave dan Momo tersenyum bersama. Bersemilah cinta diantara mereka berdua melalui dentingan piano.

*Terinspirasi oleh David (Dave) Noah dan Momo Geisha..
 


Jumat, 24 Agustus 2012

YODANITA (Yoda & Nita) Part 2

YODANITA (Yoda & Nita) Part 2

Hari ini, Yoda akan pulang ke kampung halamannya. Kota ini berbenah menyambut kedatangan Yoda, Sang Juara Indonesian Idol. Keluarganya, teman-temannya, bahkan seluruh masyarakat bersukacita menyambut kepulangan Yoda. Ayah dan Ibu Yoda pasti sangat bangga. Begitupun teman-temannya, serta aku juga bangga dan pastinya sangat rindu padanya. Sudah berbulan-bulan aku tidak bertemu sahabatku itu.
Orang tua Yoda meminta aku untuk datang ke rumahnya nanti siang. Ardy pun menyuruh aku datang ke kedai susu nanti sore.Aku sangat bahagia. Rasanya tidak sabar ingin bertemu Yoda. Aku tersenyum membayangkan rambut Yoda yang kribo itu. Sejak ikut Idol, rambut kribonya semakin keren! Tiba-tiba lamunanku terhenti karena handphone-ku berdering. Ada telepon dari....Yoda!!!
“Halo, Yoda!! Kamu udah sampai di rumah??” tanyaku dengan antusias. Aku masih tersenyum-senyum.
“Iya, aku di rumah. Tapi Nita, aku minta tolong sama kamu..,” suara Yoda dari ujung telepon.
“Ehm, tolong apa? Datang ke rumahmu? Pastilah aku datang nanti. Ortumu udah bilang ke aku kok. Hehe...”
“Bukan... Justru, aku minta tolong jangan datang ke rumahku. Jangan ke kedainya Ardy juga. Pasti nanti banyak fans aku. Kamu di rumah aja...”
“Apaa???” aku memotong ucapan Yoda. Aku sangat terkejut mendengarnya. Senyumku musnah seketika.
“Gini Nita, kamu di rumah. Nanti aku......”
“Kenapa??? Kamu lebih mementingkan fans kamu daripada aku?? Oke, fine!!” aku menutup telepon. Aku juga non-aktifkan handphone-ku. Sedih sekali rasanya. Kenapa Yoda seperti ini? Aku terdiam menahan tangisku.
* * * * *

Senja semakin gelap. Hari berganti malam. Mungkin acara jumpa fans di kedai susu telah usai. Aku duduk terdiam di teras rumah. Membayangkan Yoda bergembira bersama para fans-nya. Sedangkan aku harus di rumah. Tega banget Si Kribo itu!! Hiks.., hiks...
Kedua orang tuaku sudah menghiburku. Tapi aku tetap murung. Aku masih duduk menundukkan kepala. Tiba-tiba seseorang yang mengendarai motor berhenti di depan rumahku. Dia seorang laki-laki mengenakan jaket berpenutup kepala sehingga rambutnya tak terlihat. Wajahnya pun tertutup kacamata hitam. Aku memandangi orang itu dengan heran. Siapa dia???
Setelah memarkir motornya, laki-laki itu menghampiriku di teras rumah. Aku terus menatapnya dengan curiga. Sampai dia berada tepat di hadapanku lalu dia membuka kacamata. Aku mengenali wajahnya....
“YODA????” aku terperanjat.
“Sssstttt.... Iya ini aku. Tapi jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Ntar orang-orang ngejar aku kalo mereka tau! Ayo, ikut aku..,” Yoda memboncengku dengan motornya.

* * * * *

Kami berdua sampai di sebuah taman. Tempat ini dikelilingi pohon berhiaskan lampu warna-warni. Beberapa ayunan usang berjajar. Dulu sewaktu masih anak-anak, di sinilah tempat kami bermain. Taman penuh kenangan.
Kami berdua duduk di ayunan. Yoda menjelaskan kenapa dia menyuruh aku menunggu di rumah. Dia memang sengaja ingin mengajakku ke sini. Dia ingin bertemu berdua denganku, tanpa terganggu oleh para fans-nya.
“Maaf ya, Nita... Tadi kamu salah paham di telepon. Aku kuatirnya kalo kamu datang, malah aku cuekin kamu. Karena aku harus ngumpul sama keluargaku, temen-temen, fans-fans. Banyak banget orang..”
“Maafin aku juga Yoda.. Aku udah mikir yang nggak-nggak tentang kamu. Kukira kamu udah gak peduli lagi sama aku....”
“Nggak lah.. Kamu orang yang spesial dalam hidupku. Kamu yang buatku semangat sampai bisa juara Idol. Aku mau ngasih kamu sesuatu sebagai tanda terima kasih..”
Yoda mengeluarkan sebuah kalung dari saku jaketnya. Kalung itu bertuliskan YODANITA. Dia memakaikan kalung itu padaku.
“Bagus banget kalungnya.... Makasih yaa...,” ucapku dengan haru.
“Nita... Aku ingin kamu setia menungguku. Kemanapun aku pergi, aku akan kembali kesini untukmu. Aku sayang kamu..,” Yoda tersenyum tulus padaku. Rambutnya yang khas itu tertiup angin malam.
“Pasti... Aku juga sayang kamu, Yoda..,” jawabku sambil tersenyum.
“Nita... When I see you smile... I can face the world...” Yoda mulai menyanyikan lagu wajibnya. Aku tak akan pernah melupakan hari ini. Hari jadian kami. Yoda dan Nita....

** THE END **

#Terinspirasi oleh Prattyoda Bhayangkara Bhirawida. Kisah ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu hanya kebetulan belaka yang tidak disengaja. Oleh: Riski Diannita^_^