Rabu, 05 Februari 2014

My Experience


TEACHER
Kisah ini seperti mimpi buruk yang tak pernah usai. Bagaimana bisa aku mengakhirinya jika kenangan ini terikat kuat dalam ingatan? Kenangan ini masih jadi bayang-bayang hingga ke masa depan. Sudah bertahun-tahun lamanya kutinggalkan jejak masa itu, tapi ia masih mengikutiku hingga saat ini. Masa SMA, kata orang masa yang paling indah. Ya, benar juga menurutku. Kecuali satu hal, lebih tepatnya, satu orang guruku yang mencederai masa indah itu. 
Kelas X..... Menyenangkan bertemu teman-teman baru yang mengagumkan. Yang selalu buatku tersenyum dan tidak bisa terulang lagi sekarang. Namun seorang Pak Guru di kelas X itu, mulai menunjukkan gelagat tak bersahabat. Setiap kali selesai menjelaskan pelajaran (beliau guru Sosiologi), beliau selalu menunjukku sebagai sasaran pertanyaan. Di kelas X ini ada lebih dari 35 orang siswa. Kenapa hanya selalu aku, aku, dan aku saja yang ditanya? Semakin lucu lagi ketika semakin lama, hal yang beliau tanyakan mulai tidak relevan dengan pelajaran. Beliau bertanya apakah aku sudah punya pacar? OMG...!! Apa hubungannya dengan sekolah, coba?? Pak Guru tersebut masih muda –sekitar 30 tahun ke atas-, tapi beliau sudah punya istri dan anak. Masih heran dengan pertanyaan itu, tapi kujawab jujur saja, “Belum.”
Beliau berkata lagi,”Makanya Ris, kamu jangan dingin kalo sama cowok. Jadi kamu mana bisa tau, kalo ada cowok yang naksir kamu...” Lalu beliau memegang keningku. Dan yaa.... Itu hal aneh pertama yang kualami dari Pak Guru tersebut.
Selanjutnya lebih aneh-aneh lagi yang dilakukan Pak Guru. Suatu siang, beliau yang mengendarai motor melihatku berjalan kaki pulang sekolah. Beliau pun menawarkan untuk memboncengku. Dan aku? Jelas menolak. Kenapa bukan temanku saja to yang mengantarku pulang? Temanku yang cowok-cowok itu banyak. Kenapa harus guru?
Saat bertemu Pak Guru di jam pelajarannya, beliau membahas kejadian itu. Beliau bilang, aku ini gak seperti anak SMA lainnya. Aku pulang sekolah jalan kaki sendirian, langsung pulang, tanpa nongkrong-nongkrong lebih dulu. Begitulah komentar yang gak penting itu. Mungkin beliau anggap aku aneh –aku juga anggap beliau aneh-. Tapi aku memilih sekolah dekat rumah, memang agar bisa jalan kaki dan tidak merepotkan orang tua tentang masalah transport. Apa yang salah, coba?
Aku mulai tidak nyaman dengan cara beliau mengomentariku. Hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan sekolah pun dikomentari dan beliau mengucapkan hal itu di depan kelas! Di depan teman-teman yang lain! Mau taruh di mana mukaku? Aku mulai tak sanggup menjalani jam pelajaran beliau. Tapi mau bagaimana, aku harus terus mengikuti pelajarannya karena aku sudah terlanjur jadi murid yang baik!
Di penghujung kelas X, para siswa mulai disiapkan untuk memilih jurusan di kelas XI nanti. Begitupun aku yang mulai memikirkan jurusan apa yang harus kupilih –IPA, IPS, atau Bahasa-. Pak Guru itupun mengatakan padaku,”Masuk IPA aja kamu, Ris...”
Terpaksa ku harus bilang OMG lagi! Beliau itu tidak tahu, tidak mengenalku, atau pura-pura gak ngerti sih? Nilai mata pelajaran IPA-ku semua di bawah rata-rata. Biologi 7, Matematika 6, Fisika 5, dan Kimia 4...!!! Gimana mungkin aku masuk IPA?? Gila! Gak mungkin aku milih IPA, sedangkan aku tahu kemampuan teman-temanku jauh melebihi aku. Memilih IPS juga nggak, sebab aku gak berminat di pelajaran IPS. Yang ku tahu, minatku dan kemampuanku di pelajaran Bahasa. Nilai pelajaran Bahasaku bagus. Lebih dari itu, aku berminat mengikuti mapel-mapel Bahasa. Aku selalu ceria, senang, dan enjoy mengikuti mapel-mapel Bahasa. Kemampuan menulisku juga cukup bagus, sampai aku berani mengirimkan cerpen ke majalah sekolah dan berhasil dimuat pula. Keyakinanku untuk masuk jurusan Bahasa sudah mutlak. Tidak ada lagi orang yang bisa menghalangi langkahku.
Kelas XI-Bahasa.... Senangnya aku masuk ke jurusan yang ku idam-idamkan. Sesuai dengan pilihanku, aku naik ke kelas XI-Bahasa. Aku orang yang teguh dengan pilihan, gak plin-plan, dan gak mudah tergoyahkan. Aku selalu mempertimbangkan dengan matang sebelum memilih dan konsisten juga dengan pilihan itu. Begitu pun dalam memilih kelas Bahasa, aku sudah pikirkan baik-baik dan orang tua pun mendukung. Bertemu teman-teman yang satu tujuan di kelas Bahasa juga membuatku senang. Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali... (mengutip lagu NOAH)
Di kelas XI-Bahasa, aku bertemu lagi dengan Pak Guru itu yang kini menjadi guru BK. Ya Allah... Ini benar-benar mimpi buruk. Ketika Pak Guru itu masuk kelasku dan beliau melihatku. Beliau berkata,”Lho, Ris..!! Kamu masuk Bahasa? Gak salah ta?” lalu beliau berkata ke semua siswa di kelas,”Lihat ini Riski. Anak pendiam kok masuk jurusan Bahasa. Semoga aja kamu gak salah pilih, Ris!”
Waktu seperti berhenti berjalan saat ku dengar kalimat itu. Aku cuma terpaku merasakan sakit dalam rongga dadaku. Rasanya jantung seakan remuk. Aku emang belum pernah sakit hati karena cowok, tapi aku yakin ini rasanya lebih sakit...!! Aku memasang wajah yang seakan baik-baik saja di depan teman-temanku. Menahan air mata agar tak jatuh. Dan itu sangat-sangat sakit.
Hati mulai bimbang. Pertanyaan besar bergelayut dalam otakku. Benarkah aku salah memilih jurusan?? Jika memang salah, aku harus memilih jurusan apa? IPA atau IPS? Aku tidak punya keyakinan untuk memilih jurusan lain. Hanya jurusan Bahasa yang ku inginkan. Jika aku memang pendiam, justru aku masuk Bahasa agar kemampuan bicaraku bisa meningkat. Jika aku masuk IPA atau IPS, belum tentu kemampuan bicaraku meningkat. Yang ada aku malah gak bisa ngomong. Kenapa seorang guru BK berkata aku salah jurusan? Kenapa beliau tidak mendukung pilihanku? Padahal aku sudah memilih dengan sungguh-sungguh. Tidak seperti siswa lain yang hanya ikut-ikutan temannya untuk memilih suatu jurusan.
Dengan rasa sakit hati ini, aku melanjutkan sekolahku di kelas XI-Bahasa. Aku bertekad meraih rangking 1 untuk membuktikan pada Pak Guru itu bahwa aku pantas masuk Bahasa. Dengan belajar keras, aku berhasil meraih rangking 1 di semester 1. Aku sangat bersyukur... Selain membuktikan kemampuanku, aku juga bisa membantu orang tua karena aku berhak atas beasiswa bebas biaya SPP selama 1 semester ke depan. Alhamdulillah... Subhanallah..... Kelas XI terlewati dengan lebih lancar.
Kelas XII-Bahasa...... Aku mengira prestasi yang kucapai selama ini bisa membuka mata Pak Guru. Semua pembuktian sudah ku lakukan, bahwa aku siswa yang baik, rajin, tak pernah melanggar peraturan, juga berprestasi. Namun ternyata semua itu tidak ada artinya bagi beliau. Pak Guru masuk lagi ke kelasku sebagai guru BK dan belum berhenti ‘menyiksa’ku. Di tingkat terakhir ini, siswa-siswa diharapkan menentukan pilihan jurusan kuliah setelah lulus SMA. Aku pun mulai menentukan pilihan. Aku ingin menjadi seorang guru. Aku senang belajar dan mengajari orang lain. Aku ingin berbagi ilmu yang dititipkan Allah kepadaku. Aku juga tahu kemana jurusan kuliah yang harus ku pilih agar menjadi seorang guru.
Pak Guru menjelaskan tentang jurusan kuliah dan tentang sifat-sifat manusia menurut ilmu psikologi. Ada sifat terbuka (ekstrovert) dan tertutup (introvert). Seperti biasa, setelah menjelaskan beliau pasti bertanya kepadaku,”Menurutmu, sifatmu terbuka atau tertutup, Ris?”
Aku menjawab saja,”Terbuka.”
Lalu beliau bilang,”Yang bener aja? Coba, teman-temannya di kelas ini, kamu tau banyak gak tentang Riski?” Beliau bertanya kepada teman-teman yang tidak akrab denganku. Mereka menggeleng. Haa, tentu saja mereka tidak tahu. Toh, aku juga tidak banyak tahu tentang mereka karena kami tidak akrab! Cobalah bertanya kepada teman akrabku, pasti mereka tahu banyak tentangku! Guru ini benar-benar menjatuhkanku.
Beliau bertanya lagi,”Tuh kan mereka gak tau Ris, berarti kamu tertutup. Trus, cita-citamu jadi apa?”
Aku menjawab,”Jadi guru.”
Beliau berkata yang lebih menyakitkan lagi,”Gimana bisa jadi guru Ris, kalo tertutup gitu? Gak pantes. Kan guru pantesnya orang yang banyak bicara, banyak cerita!”
Seperti biasa, aku hanya terdiam. Menahan semua sakit yang tak bisa kutahan lagi. Setelah pelajaran jam terakhir itu usai dan bel pulang berbunyi, Pak Guru keluar dari kelasku tanpa rasa bersalah. Dan aku menangis sejadi-jadinya...!!! Di tempat dudukku, di tengah ruang kelas, dikerumuni oleh teman-temanku, aku menangis tanpa henti. Semua kesakitanku tertumpah. Aku tak bisa bicara atau menjelaskan lagi. Hancur sudah kekuatan hatiku selama ini, kesabaran yang ekstra, harapan yang besar telah habis, motivasi yang tinggi telah jatuh. Aku tak mampu lagi.... Tapi satu hal yang aku syukuri, teman-temanku menghiburku..
Kenapa saat seorang siswa yang punya cita-cita, bahkan bercita-cita sebagai guru, namun harapan itu harus dijatuhkan oleh sang guru sendiri? Kenapa cita-cita yang mulia itu tidak didukung? Masih banyak siswa yang tak punya cita-cita dan harus lebih diarahkan. Tapi aku yang punya cita-cita justru direndahkan, tanpa pernah Pak Guru memberi solusi..! Dan hingga kini, aku berusaha sendiri. Melupakan kenangan buruk itu, walau tak pernah mampu. Mencoba meraih cita-cita, walau trauma menyakitkan itu terus menghantui.
 Kenangan itu terjadi antara 5-6 tahun yang lalu, tapi sampai detik ini aku tak bisa lupa sedikitpun. Aku sudah ada di semester akhir perkuliahan dan semestinya aku sudah ‘pantas’ menjadi seorang ‘guru’. Tapi ah, sebutan ‘guru’ itu terlalu berat untukku. Masih jadi pertanyaan besar dalam benakku,”Pantaskah aku menjadi seorang guru?”
Kini aku bersyukur bisa berbagi ilmu, tapi tak perlu menyandang gelar ‘guru’. Cukuplah aku menjadi orang yang bermanfaat dan berbagi ilmu dengan orang lain. Aku tak pernah mengharap dipanggil ‘Bu Guru’. Aku hanya ingin jadi orang yang bermanfaat. Tentunya bukan orang yang menghancurkan harapan orang lain. Semoga siapapun bisa belajar dari kisah ini.
         (Aku menulis ini tanggal 1 Agustus 2013. Kisah masa SMA-ku yang untuk saat ini istilahnya di-bully oleh guruku di sekolah. Yaa, mungkin ini memang cobaan dari Allah untukku. Terima kasih, aku belajar banyak dari pengalaman itu... J)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar