TEACHER
Kisah ini seperti mimpi buruk yang tak
pernah usai. Bagaimana bisa aku mengakhirinya jika kenangan ini terikat kuat
dalam ingatan? Kenangan ini masih jadi bayang-bayang hingga ke masa depan. Sudah
bertahun-tahun lamanya kutinggalkan jejak masa itu, tapi ia masih mengikutiku
hingga saat ini. Masa SMA, kata orang masa yang paling indah. Ya, benar juga
menurutku. Kecuali satu hal, lebih tepatnya, satu orang guruku yang mencederai
masa indah itu.
Kelas X..... Menyenangkan bertemu
teman-teman baru yang mengagumkan. Yang selalu buatku tersenyum dan tidak bisa
terulang lagi sekarang. Namun seorang Pak Guru di kelas X itu, mulai menunjukkan
gelagat tak bersahabat. Setiap kali selesai menjelaskan pelajaran (beliau guru
Sosiologi), beliau selalu menunjukku sebagai sasaran pertanyaan. Di kelas X ini
ada lebih dari 35 orang siswa. Kenapa hanya selalu aku, aku, dan aku saja yang
ditanya? Semakin lucu lagi ketika semakin lama, hal yang beliau tanyakan mulai
tidak relevan dengan pelajaran. Beliau bertanya apakah aku sudah punya pacar?
OMG...!! Apa hubungannya dengan sekolah, coba?? Pak Guru tersebut masih muda
–sekitar 30 tahun ke atas-, tapi beliau sudah punya istri dan anak. Masih heran
dengan pertanyaan itu, tapi kujawab jujur saja, “Belum.”
Beliau berkata lagi,”Makanya Ris, kamu
jangan dingin kalo sama cowok. Jadi kamu mana bisa tau, kalo ada cowok yang
naksir kamu...” Lalu beliau memegang keningku. Dan yaa.... Itu hal aneh pertama
yang kualami dari Pak Guru tersebut.
Selanjutnya lebih aneh-aneh lagi yang dilakukan
Pak Guru. Suatu siang, beliau yang mengendarai motor melihatku berjalan kaki
pulang sekolah. Beliau pun menawarkan untuk memboncengku. Dan aku? Jelas
menolak. Kenapa bukan temanku saja to yang mengantarku pulang? Temanku yang
cowok-cowok itu banyak. Kenapa harus guru?
Saat bertemu Pak Guru di jam pelajarannya,
beliau membahas kejadian itu. Beliau bilang, aku ini gak seperti anak SMA
lainnya. Aku pulang sekolah jalan kaki sendirian, langsung pulang, tanpa
nongkrong-nongkrong lebih dulu. Begitulah komentar yang gak penting itu.
Mungkin beliau anggap aku aneh –aku juga anggap beliau aneh-. Tapi aku memilih
sekolah dekat rumah, memang agar bisa jalan kaki dan tidak merepotkan orang tua
tentang masalah transport. Apa yang salah, coba?
Aku mulai tidak nyaman dengan cara beliau
mengomentariku. Hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan sekolah pun dikomentari
dan beliau mengucapkan hal itu di depan kelas! Di depan teman-teman yang lain!
Mau taruh di mana mukaku? Aku mulai tak sanggup menjalani jam pelajaran beliau.
Tapi mau bagaimana, aku harus terus mengikuti pelajarannya karena aku sudah
terlanjur jadi murid yang baik!
Di penghujung kelas X, para siswa mulai
disiapkan untuk memilih jurusan di kelas XI nanti. Begitupun aku yang mulai
memikirkan jurusan apa yang harus kupilih –IPA, IPS, atau Bahasa-. Pak Guru
itupun mengatakan padaku,”Masuk IPA aja kamu, Ris...”
Terpaksa ku harus bilang OMG lagi! Beliau
itu tidak tahu, tidak mengenalku, atau pura-pura gak ngerti sih? Nilai mata
pelajaran IPA-ku semua di bawah rata-rata. Biologi 7, Matematika 6, Fisika 5,
dan Kimia 4...!!! Gimana mungkin aku masuk IPA?? Gila! Gak mungkin aku milih
IPA, sedangkan aku tahu kemampuan teman-temanku jauh melebihi aku. Memilih IPS
juga nggak, sebab aku gak berminat di pelajaran IPS. Yang ku tahu, minatku dan
kemampuanku di pelajaran Bahasa. Nilai pelajaran Bahasaku bagus. Lebih dari
itu, aku berminat mengikuti mapel-mapel Bahasa. Aku selalu ceria, senang, dan
enjoy mengikuti mapel-mapel Bahasa. Kemampuan menulisku juga cukup bagus,
sampai aku berani mengirimkan cerpen ke majalah sekolah dan berhasil dimuat
pula. Keyakinanku untuk masuk jurusan Bahasa sudah mutlak. Tidak ada lagi orang
yang bisa menghalangi langkahku.
Kelas XI-Bahasa.... Senangnya aku masuk ke
jurusan yang ku idam-idamkan. Sesuai dengan pilihanku, aku naik ke kelas
XI-Bahasa. Aku orang yang teguh dengan pilihan, gak plin-plan, dan gak mudah
tergoyahkan. Aku selalu mempertimbangkan dengan matang sebelum memilih dan
konsisten juga dengan pilihan itu. Begitu pun dalam memilih kelas Bahasa, aku
sudah pikirkan baik-baik dan orang tua pun mendukung. Bertemu teman-teman yang
satu tujuan di kelas Bahasa juga membuatku senang. Dan terjadi lagi, kisah lama
yang terulang kembali... (mengutip lagu NOAH)
Di kelas XI-Bahasa, aku bertemu lagi dengan
Pak Guru itu yang kini menjadi guru BK. Ya Allah... Ini benar-benar mimpi
buruk. Ketika Pak Guru itu masuk kelasku dan beliau melihatku. Beliau
berkata,”Lho, Ris..!! Kamu masuk Bahasa? Gak salah ta?” lalu beliau berkata ke
semua siswa di kelas,”Lihat ini Riski. Anak pendiam kok masuk jurusan Bahasa.
Semoga aja kamu gak salah pilih, Ris!”
Waktu seperti berhenti berjalan saat ku
dengar kalimat itu. Aku cuma terpaku merasakan sakit dalam rongga dadaku.
Rasanya jantung seakan remuk. Aku emang belum pernah sakit hati karena cowok,
tapi aku yakin ini rasanya lebih sakit...!! Aku memasang wajah yang seakan
baik-baik saja di depan teman-temanku. Menahan air mata agar tak jatuh. Dan itu
sangat-sangat sakit.
Hati mulai bimbang. Pertanyaan besar
bergelayut dalam otakku. Benarkah aku salah memilih jurusan?? Jika memang
salah, aku harus memilih jurusan apa? IPA atau IPS? Aku tidak punya keyakinan
untuk memilih jurusan lain. Hanya jurusan Bahasa yang ku inginkan. Jika aku
memang pendiam, justru aku masuk Bahasa agar kemampuan bicaraku bisa meningkat.
Jika aku masuk IPA atau IPS, belum tentu kemampuan bicaraku meningkat. Yang ada
aku malah gak bisa ngomong. Kenapa seorang guru BK berkata aku salah jurusan?
Kenapa beliau tidak mendukung pilihanku? Padahal aku sudah memilih dengan
sungguh-sungguh. Tidak seperti siswa lain yang hanya ikut-ikutan temannya untuk
memilih suatu jurusan.
Dengan rasa sakit hati ini, aku melanjutkan
sekolahku di kelas XI-Bahasa. Aku bertekad meraih rangking 1 untuk membuktikan
pada Pak Guru itu bahwa aku pantas masuk Bahasa. Dengan belajar keras, aku
berhasil meraih rangking 1 di semester 1. Aku sangat bersyukur... Selain
membuktikan kemampuanku, aku juga bisa membantu orang tua karena aku berhak
atas beasiswa bebas biaya SPP selama 1 semester ke depan. Alhamdulillah...
Subhanallah..... Kelas XI terlewati dengan lebih lancar.
Kelas XII-Bahasa...... Aku mengira prestasi
yang kucapai selama ini bisa membuka mata Pak Guru. Semua pembuktian sudah ku
lakukan, bahwa aku siswa yang baik, rajin, tak pernah melanggar peraturan, juga
berprestasi. Namun ternyata semua itu tidak ada artinya bagi beliau. Pak Guru
masuk lagi ke kelasku sebagai guru BK dan belum berhenti ‘menyiksa’ku. Di
tingkat terakhir ini, siswa-siswa diharapkan menentukan pilihan jurusan kuliah setelah
lulus SMA. Aku pun mulai menentukan pilihan. Aku ingin menjadi seorang guru.
Aku senang belajar dan mengajari orang lain. Aku ingin berbagi ilmu yang
dititipkan Allah kepadaku. Aku juga tahu kemana jurusan kuliah yang harus ku
pilih agar menjadi seorang guru.
Pak Guru menjelaskan tentang jurusan kuliah
dan tentang sifat-sifat manusia menurut ilmu psikologi. Ada sifat terbuka
(ekstrovert) dan tertutup (introvert). Seperti biasa, setelah menjelaskan
beliau pasti bertanya kepadaku,”Menurutmu, sifatmu terbuka atau tertutup, Ris?”
Aku menjawab saja,”Terbuka.”
Lalu beliau bilang,”Yang bener aja? Coba,
teman-temannya di kelas ini, kamu tau banyak gak tentang Riski?” Beliau
bertanya kepada teman-teman yang tidak akrab denganku. Mereka menggeleng. Haa, tentu
saja mereka tidak tahu. Toh, aku juga tidak banyak tahu tentang mereka karena
kami tidak akrab! Cobalah bertanya kepada teman akrabku, pasti mereka tahu
banyak tentangku! Guru ini benar-benar menjatuhkanku.
Beliau bertanya lagi,”Tuh kan mereka gak tau
Ris, berarti kamu tertutup. Trus, cita-citamu jadi apa?”
Aku menjawab,”Jadi guru.”
Beliau berkata yang lebih menyakitkan
lagi,”Gimana bisa jadi guru Ris, kalo tertutup gitu? Gak pantes. Kan guru
pantesnya orang yang banyak bicara, banyak cerita!”
Seperti biasa, aku hanya terdiam. Menahan
semua sakit yang tak bisa kutahan lagi. Setelah pelajaran jam terakhir itu usai
dan bel pulang berbunyi, Pak Guru keluar dari kelasku tanpa rasa bersalah. Dan
aku menangis sejadi-jadinya...!!! Di tempat dudukku, di tengah ruang kelas,
dikerumuni oleh teman-temanku, aku menangis tanpa henti. Semua kesakitanku
tertumpah. Aku tak bisa bicara atau menjelaskan lagi. Hancur sudah kekuatan
hatiku selama ini, kesabaran yang ekstra, harapan yang besar telah habis,
motivasi yang tinggi telah jatuh. Aku tak mampu lagi.... Tapi satu hal yang aku
syukuri, teman-temanku menghiburku..
Kenapa saat seorang siswa yang punya
cita-cita, bahkan bercita-cita sebagai guru, namun harapan itu harus dijatuhkan
oleh sang guru sendiri? Kenapa cita-cita yang mulia itu tidak didukung? Masih
banyak siswa yang tak punya cita-cita dan harus lebih diarahkan. Tapi aku yang
punya cita-cita justru direndahkan, tanpa pernah Pak Guru memberi solusi..! Dan
hingga kini, aku berusaha sendiri. Melupakan kenangan buruk itu, walau tak
pernah mampu. Mencoba meraih cita-cita, walau trauma menyakitkan itu terus
menghantui.
Kenangan itu terjadi antara 5-6 tahun yang
lalu, tapi sampai detik ini aku tak bisa lupa sedikitpun. Aku sudah ada di
semester akhir perkuliahan dan semestinya aku sudah ‘pantas’ menjadi seorang
‘guru’. Tapi ah, sebutan ‘guru’ itu terlalu berat untukku. Masih jadi
pertanyaan besar dalam benakku,”Pantaskah aku menjadi seorang guru?”
Kini aku bersyukur bisa berbagi ilmu, tapi
tak perlu menyandang gelar ‘guru’. Cukuplah aku menjadi orang yang bermanfaat
dan berbagi ilmu dengan orang lain. Aku tak pernah mengharap dipanggil ‘Bu
Guru’. Aku hanya ingin jadi orang yang bermanfaat. Tentunya bukan orang yang
menghancurkan harapan orang lain. Semoga siapapun bisa belajar dari kisah ini.
(Aku menulis ini tanggal 1 Agustus 2013.
Kisah masa SMA-ku yang untuk saat ini istilahnya di-bully oleh guruku di sekolah. Yaa, mungkin ini memang cobaan dari
Allah untukku. Terima kasih, aku belajar banyak dari pengalaman itu... J)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar