Akhir Perjalanan
Tubuhku
terasa sangat ringan, seperti dapat tertiup angin. Seperti melayang di udara.
Aku menghampiri kaca mobil yang retak dan bercermin di sana. Aku melihat
tubuhku sendiri, tapi ini berbeda! Tidak seperti dulu yang begitu cantik. Wajahku
hancur, rambutku kusut, tubuhku hanya tertutup kain putih panjang, koyak, dan
lusuh. Tiada lagi pakaian indahku dan harum parfumku dulu, atau sepatu hak
tinggi. Bau anyir menyengat. Kakiku tak menginjak tanah! Aku terdiam dan hari
semakin malam. Semua orang meninggalkanku di bawah pohon ini......
****
Alunan musik memenuhi ruang mobil
mewah ini. Sedan putih mengilat melaju menembus jalan pegunungan. Di kanan kiri
jalan disambut pepohonan hijau. Mereka berjajar gagah namun merunduk seakan
patuh pada sesuatu yang tak terlihat. Alam memang kuat namun bersahaja. Alam
terlalu suci untuk dikotori perbuatan tercela manusia, seperti aku. Sekelebat
teringat kebejatan yang ku lakukan selama ini. Kekagumanku pada keindahan alam
yang terpampang di balik kaca mobil ini tak seberapa dibanding kekagumanku pada
diriku sendiri. Aku cantik, manarik, bersuara merdu, dan pandai merayu lelaki.
Aku menikmati kebersamaanku dengan para lelaki yang mampu penuhi semua inginku,
nafsuku, dan ambisiku.
Seperti Donny, lelaki yang sedang
menyetir di sampingku. Ia membawaku dengan mengendarai sedan putih ke tempat
menginap eksklusif di kaki pegunungan ini. Siapa yang tak mengenal daerah ini?
Begitu sejuk dan romantis untuk menghabiskan waktu berdua bermalam dengan
pasangan. Ya, seperti aku dan Donny. Sore ini kami memulai perjalanan untuk
mencari penginapan di daerah ini. Langit yang mulai teduh dan hawa semakin
sejuk menyapa perjalanan kami.
“Venna, kita jadi nginep di mana?” tanya
Donny. Pria tampan itu tersenyum padaku.
Aku yang sejak tadi menikmati
pemandangan, kini beralih menikmati ciptaan Tuhan yang satu ini. Donny. Siapa
wanita yang tak kan terpikat padanya? Ayahnya seorang mantan pejabat tinggi
yang juga punya beragam bisnis. Donny mewarisi salah satu bisnis ayahnya. Dengan
segala fasilitas nomor wahid ditambah wajah rupawan, ia pun mampu menaklukkan
hatiku. Walau ada hal yang tidak aku suka dari dia. Aku terlalu bandel dan
tidak peduli dengan statusnya yang telah beristri. Ya, Donny bukan pria
lajang...
“Kita cari yang bagus dong.. Masa
mau nginep di tempat murahan sih, Sayang?” ujarku manja. Donny tertawa renyah.
Ia memang mempesona. Aku sangat menyukai segala hal tentangnya, kecuali satu:
istrinya. Oh ya, satu lagi.. Dia juga sudah mempunyai seorang anak berumur 2 tahun.
Masa bodoh dengan semua itu! Toh, Donny sendiri mau main gila denganku.
Perkenalanku dengan Donny terjadi
ketika aku ada job menyanyi di sebuah kafe eksklusif. Profesi utamaku memang
penyanyi. Dengan bermodal suara merdu dan wajah cantik, tidak sulit mendapatkan
job menyanyi dari kafe ke kafe, atau dari panggung ke panggung. Sayangnya, aku
belum berkesempatan menjadi penyanyi rekaman. Sebenarnya penghasilanku lumayan,
tapi aku masih selalu merasa kurang. Untuk biaya perawatan tubuh, kostum
panggung, perhiasan, assesoris, tas, sepatu, kacamata, kendaraan pribadi, dan
lain-lain. Semua barang pendukung harus aku miliki agar penampilan terlihat
lebih ‘wah’. Itu salah satu caraku untuk memikat hati orang yang memakai
jasaku.
Namun selain menyanyi, aku juga tidak
menolak ajakan kencan para pria yang terkagum-kagum dengan pesonaku. Tentunya
harus ada imbalan yang setimpal. Bisa dibilang itu layanan ‘plu-plus’. Hingga
aku berkenalan dengan Donny dan kali ini ada yang berbeda. Tidak seperti
pria-pria lain yang hanya ku butuhkan uangnya, tapi khusus Donny, aku juga
butuh ia selalu di sampingku. Entah karena ia yang paling kaya, paling tampan,
paling perhatian, atau karena kami memang saling menyayangi. Ya, semua itu
benar! Tanpa peduli Donny sudah beristri dan punya anak. Aku merasa ia sungguh
mencintaiku dan sebaliknya aku pun sama.
Memandang wajah Donny membuatku
semakin bernafsu untuk memilikinya. Aku menggenggam pundak Donny yang sedang
menyetir mobil. Perjalanan kita hampir sampai ke tempat penginapan. Tiba-tiba
ponsel Donny yang diletakkan di dashbor berbunyi tanda ada panggilan masuk. Aku
segera mengambilnya. Aku baca nama yang tertera di layar ponsel: “My Lovely
Wife”.
“Dari siapa, Venna?” tanya Donny
sambil tetap fokus menyetir.
“Istrimu! Kenapa masih telepon? Kamu
udah pamit dengan alasan urusan bisnis kan?” tanyaku mulai curiga.
“Iya... Tapi kalau telepon begitu
biasanya penting.”
“Penting apa?” aku me-reject
panggilan dari istri Donny.
“Venna, Sayang.... Jangan
di-reject!” Donny mulai memprotesku.
Beberapa saat kemudian, sebuah pesan
singkat masuk. Dari “My Lovely Wife”, isinya: “Mas Donny, Reyhan lagi sakit
demam. Dia rewel panggil Papa terus. Tolong, bisa pulang sekarang!” Aku
memicingkan mata membaca SMS itu. Kenapa bukan aku yang jadi istrinya? Aku
cemburu. Anaknya sakit, lalu haruskah Donny pulang?
“Venna, mana handphone-nya sini!”
Donny meminta ponselnya. Aku tidak memberikannya. Beberapa saat suasana hening.
Aku sedang kesal, mungkin Donny juga. Maaf Donny, aku harus berulah begini. Aku
tak ingin diganggu istrimu! Tapi kemudian panggilan masuk lagi. Dari “My Lovely
Wife”.
“Istriku lagi yang telepon? Sini,
kasihkan HP-nya! Venna!” nada suara Donny mulai meninggi.
“Aku udah bilang, aku gak mau acara
kita ini terganggu sama istrimu! Termasuk dengan telepon ini!” bentakku.
“Venna, acara kita tetap lanjut kok!
Tapi biarin ku angkat telepon istriku!” Donny masih menyetir tapi dengan satu
tangan berusaha meraih ponsel dari tanganku.
Tanpa pikir panjang, aku membuka
jendela mobil lalu melempar ponsel itu ke jalan! Aku menggenggam tangan Donny
dan berkata tegas,”Kamu milikku, Don!”
“Venna!! Hey!! Apa-apaan kamu?!”
Donny berteriak sambil berupaya melepas tangannya dari genggamanku. Ia menoleh
ke belakang, melihat jalan di mana ponselnya aku buang. Konsentrasi Donny sudah
buyar. Ia tak memperhatikan lagi jalan di depannya. Padahal tempat penginapan
yang kami tuju sudah dekat.
Aku yang melihat jalan itu
tersentak. Beberapa meter di depan mobil ini ada sosok nenek menyeberang jalan.
Kondisi jalan pegunungan yang berupa tikungan tajam sangat curam. Ditambah
langit yang gelap karena matahari baru terbenam. Rasanya mobil ini tak mampu
menghindari nenek yang tepat di depan kami.
“DONNY!!!! AWAASSS!!!!” jeritku.
Donny tersentak lalu membanting
setirnya ke kiri.
BRRAAKKK...!!!! Mobil menabrak pohon
besar di tepi jalan. Aku merasakan sakit di sekujur tubuh. Pandanganku gelap.
Hening.
****
Mataku terbuka. Aku berada di
samping mobil yang hancur menabrak pohon. Aku melihat seorang pria berlumuran
darah dibopong oleh orang-orang yang berkerumun menyelamatkannya. Aku memandang
wajahnya. Aku ingat, itu Donny! Oh, Donny-ku.... Malangnya nasibmu. Masih
hidupkah kau? Lalu diriku sendiri? Masih hidupkah aku??
Tubuhku
terasa sangat ringan, seperti dapat tertiup angin. Seperti melayang di udara.
Aku menghampiri kaca mobil yang retak dan bercermin di sana. Aku melihat
tubuhku sendiri, tapi ini berbeda! Tidak seperti dulu yang begitu cantik.
Wajahku hancur, rambutku kusut, tubuhku hanya tertutup kain putih panjang, koyak,
dan lusuh. Tiada lagi pakaian indahku dan harum parfumku dulu, atau sepatu hak
tinggi. Bau anyir menyengat. Kakiku tak menginjak tanah!
Aku
mulai menangis, merintih, meratapi diriku. Semakin kencang menangis, namun tak
ada sorang pun yang peduli. Aku berteriak keras-keras tapi yang terdengar hanya
desahan tak jelas. Ingin pergi dari sini. Aku ingin pulang ke rumahku, tapi
tubuh ini seperti terpaku di sini. Aku terdiam dan hari semakin malam. Semua
orang meninggalkanku di bawah pohon ini......
(Orang-orang yang melewati jalan itu
atau berhenti di bawah pohon besar itu, terutama pada malam hari mengaku sering
mendengar suara tangisan perempuan. Para warga sekitar mempercayai itu adalah
makhluk penghuni pohon besar yang merupakan arwah korban kecelakaan.
Wallahu’alam... Hanya Allah Yang Maha Mengetahui tentang roh yang terbatas oleh
penglihatan manusia. Mari kita jadikan pelajaran hidup. Sebagai hamba-Nya, kita
semestinya selalu berbuat kebaikan pada siapapun agar selamat di manapun kita
berada.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar